Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Kita
ketahui sejak lama mengenai sosok seorang pelaut dari China yang bertandang ke
Nusantara dengan 200 perahunya, mendahului para pelaut besar Eropa seperti Columbus dan
Vasco da Gama. Dalam Sejarah Indoneisa II dituliskan, Ceng Ho datang ke
Nusantara pada 1405, memimpin sebuah armada perutusan ke Jawa, pada tahun
berikutnya ia menyaksikan kedua raja Majapahit tersebut saling berperang. Dalam
perang saudara antara keluarga Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi telah
menyebabkan ikut terbunuhnya 170 orang anggota rombongan Ceng Ho. Ceng Ho berkunjung ke Indonesia sebanyak tujuh kali sejak tahun 1405 hingga 1433
dalam misi persahabatan.
Salah
satu tempat di Jawa yang pernah disinggahi oleh Laksamana Ceng Ho ini adalah Semarang.
Akulturasi yang ada dapat dilihat di Semarang pada adanya perkampungan China
atau yang biasa disebut pecinan. Dari sini timbul suatu hal yang menelisik,
kenapa Ceng Ho mudah diterima di Nusantara khususnya di Semarang? Terbukti
dengan adanya Klenteng yang hingga sekarang terus diuri-uri warga Semarang.
Berikut penulis akan memaparkan mengenai fenomena tersebut.
Ceng
Ho Pahlawan Budaya
Cheng Ho, laksamana ternama pada
masa Dinasti Ming, dipercaya sebagai seorang Muslim asal Yunan. Kala itu, ia
dipercaya memimpin armada laut China mengarungi penjuru dunia sejak 1400 serta
memimpin pelayaran armada yang terdiri atas 200 kapal besar dan kecil melintasi
Asia dan Afrika selama 28 tahun. Ekspedisi yang dilakukan Laksamana Cheng Ho
pada abad ke-15 M dilakukan dengan dua misi, yakni perdagangan dan penyebaran
Islam. Saya tak melihat adanya misi penaklukkan dalam ekspedisi yang dilakukan
Ceng Ho sebanyak tujuh kali itu. Sebab, sampai sekarang belum ditemukan adanya
bekas-bekas kekuasaan Ceng Ho.
Ekspedisi yang dilakukan Ceng Ho ke
wilayah Nusantara, khususnya Jawa memang sungguh menarik. Ceng Ho melakukan
pendekatan kultural setiap kali mendatangi wilayah yang ditujunya. Sehingga,
kedatangannya selalu diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk lokal. Yang
menarik, justru kebudayaan yang dibawa melalui misi ekspedisi Ceng Ho itu
diadaptasi masyarakat lokal. Setelah itu, masyarakat mewarnai kebudayaan yang
dibawa Ceng Ho itu dengan budaya lokal yang lebih kental. Misalnya saja, di
Semarang, sosok laksamana itu menjadi Sam Po Kong. Tak heran, jika kemudian dia
dianggap masyarakat lokal sebagai pahlawan.
Ceng Ho itu semacam pahlawan
kebudayaan. Sebab, melalui ekspedisi yang dilakukannya, dia telah membawa
semacam semangat persaudaraan antarbangsa. Melalui ekspedisi yang dilakukannya
telah terjadi semacam pertemuan budaya. Perjalanan Ceng Ho itu membawa semangat
keterbukaan, meski berbeda etnis namun kehediarannya dapat diterima.
Ceng Ho adalah sosok laksamana yang
memiliki kepemimpinan yang luar biasa. Dalam setiap ekspedisi yang dipimpinnya,
dia bisa memimpin ribuan orang dengan sukses. Kemampuan dalam mengelola dan
memimpin ekspedisi besar itu memang sungguh luar biasa.
Ceng Ho bukanlah orang Cina pertama
yang datang ke Nusantara. Sebab, pada abad ke-9 M, sudah ada orang-orang Cina
yang belajar mengenai agama Budha di Kerajaan Sriwijaya, Palembang. Meski
begitu, ada semacam pesan penting yang diambil dari ekspedisi Ceng Ho yang
salah satunya datang ke wilayah Nusantara itu.
Pesan penting yang dibawa Ceng Ho
bagi bangsa Indonesia adalah semangat kemaritiman. Ekspedisi Ceng Ho mestinya
menjadi modal bagi bangsa ini untuk kembali membangkitkan nilai-nilai
kemaritiman. Saya melihat ada semacam kejumudan dalam nilai-nilai kemaritiman
pada bangsa ini. Semangat kemaritiman tampaknya kini sudah nyaris terlupakan.
Padahal, nenek moyang bangsa Indonesia adalah para pelaut dan penjelajah yang
tak kalah hebat, jauh sebelum Cheng Ho berekspedisi. Sayangnya, memang
perjalanan para pelaut Nusantara tak terlacak, karena tak tercatat. Ekspedisi
Ceng Ho ini mestinya membangkitkan kembali semangat kemaritiman bangsa.
Ceng Ho Pemimpin Tauladan
Memimpin tujuh kali ekspedisi
mengarungi jarak lebih dari 50 ribu kilometer pada kurun waktu itu adalah
prestasi yang fenomenal, membutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat. Enam ratus
tahun yang lalu, memimpin armada yang melibatkan 200 kapal dengan 27 ribu awak
kapal tentu bukan hal yang mudah. Kepiawaian seorang pemimpin yang disertai
oleh managerial skill yang sangat tinggi. Dia tentu memiliki visi yang
kuat dan merasuk kepada segenap pengikutnya, shared vision. Sehingga ia
mampu memobilisasi pengikutnya dalam koordinasi yang bagus.
Misi yang diembannya juga tergolong
mulia. Jika saja armada yang dipimpinnya saat itu menyerang dan menjajah negeri
ini. Dengan melihat perbandingan kekuatan yang ada, secara teknis armada Cheng
Ho mempunyai peluang cukup besar untuk memenangkannya. Tetapi yang mereka
lakukan justru menebar misi damai. Sebuah misi untuk menunjukkan keagungan
dinasti Ming dan ketinggian kebudayaan Tiongkok.
Dalam menjalankan misinya, ia
mengedepankan pendekatan multikulturalisme. Ia menghormati dimensi kultural
yang dianut masyarakat setempat berupa bahasa, nilai-nilai, pola berpikir,
agama, artefak, dan orientasi terhadap waktu dan ruang. Penggunaan pendekatan
kultural seperti ini menuntut kerja keras dari seorang pemimpin lebih dari
penggunaan kekerasan itu sendiri. Betapa tidak, ia harus dapat meyakinkan anak
buahnya bahwa cara ini dapat berhasil. Dengan berbagai tantangan dan cobaan
yang dihadapi, ia harus dapat memupuk keyakinan tersebut dan memelihara
semangat untuk berusaha mencapainya. Sebagai pemimpin, komitmennya menjadi
acuan dalam menggerakkan komitmen anak buahnya. Dari perjalanan waktu untuk
mencapai tujuan tersebut selalu berhadapan dengan proses perubahan, baik
perubahan internal maupun perubahan eksternal. Kadang-kadang perubahan itu
bersifat ekstrim sehingga menimbulkan krisis yang dapat menimbulkan keraguan
dan pesimisme.
Padahal, antusiasme memainkan peran
yang sangat penting dalam pencapaian tujuan. Sudah menjadi tugasnya selaku
pemimpin untuk selalu meniupkan rasa antusias kepada seluruh anak buahnya.
Kemampuan memotivasi, memberi teladan, dan memberi inspirasi menjadi tuntutan
yang tak terelakkan. Secara nyata toleransi dan empati ditunjukkannya dalam
banyak hal, bukan sebatas retorika belaka.
Ada kisah menarik dalam kunjungannya
ke Majapahit yang saat itu sedang dilanda perang saudara dengan kubu
Blambangan. Ketika berada di pantai Utara Jawa, orang kedua dalam armada itu,
Wang Jinghong, menderita sakit keras. Beberapa sumber sejarah mengatakan sakit
cacar air yang parah, dan tergolong penyakit menular. Mengingat kondisi
kesehatan orang kepercayaannya, Cheng Ho menurunkan Wang Jinghong di Pelabuhan
Simongan (sekarang bernama Mangkang) Semarang. Di situ Wang Jinghong dirawat di
dalam sebuah gua untuk menghindarkan penularan penyakit ke anak buahnya yang
lain. Bahkan, beberapa sumber menyatakan bahwa dengan tangannya sendiri Cheng
Ho merawatnya, termasuk meramu obat-obatan untuknya.
Bayangkan, seorang laksamana yang
memimpin tidak kurang dari 30,000 orang dalam lebih dari tujuh puluh kapal
dalam suatu misi yang penting begitu memperhatikan orang kepercayaannya. Selama
ia merawat Wang Jinghong, kendali armadanya ia serahkan pada orang yang
ditunjuknya. Padahal dengan kekuasaannya, mudah saja bagi laksamana Cheng Ho
untuk menunjuk anak buahnya untuk merawat Wang Jinghong sementara ia tetap
memimpin armada lautnya.
Saat kondisi Wang Jinghong membaik,
Ceng Ho meninggalkannya berikut 10 awak kapal untuk menjaganya. Ia kembali
memimpin armada lautnya untuk melaksanakan misi utama yang diembannya setelah
memastikan bahwa wakilnya ini sudah dalam kondisi aman dan tinggal menunggu
pemulihan saja.
Integritas kepemimpinan Cheng Ho
yang ditunjukkan dalam kepeduliannya terhadap Wang Jinghong sebagai wakilnya
sangat dirasakan oleh semua anak buahnya. Sebagai gantinya, ia juga mendapatkan
tidak saja respek tetapi totalitas dari seluruh anak buahnya. Tidak heran jika
Laksamana Cheng Ho sukses dalam setiap kesempatan.
Bahkan, sebagai tanda terima kasih
kepada Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan patung Cheng Ho di gua Simongan.
Itulah awal legenda patung Sam Po Kong yang kemudian menjadi asal muasal
Kelenteng Sam Po Kong Semarang yang setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek ramai
dikunjungi orang. Kepemimpinan Cheng Ho, sungguh layak untuk diteladani.
Pengahargaan terhadap Ceng Ho
Dalam sebuah berita di media elektronik (travel.kompas.com)
menyebutkan adanya sebuah perayaan untuk menghormati seorang laksamana besar
Ceng Ho. Yang dikutip oleh penulis sebagai berikut “Warga Kota Semarang dan
sekitarnya, Selasa (6/8/2013) sekitar pukul 06.00, memadati tepi Jalan
Pamularsih Raya, Kota Semarang, Jawa Tengah. Mereka menyaksikan kirab perayaan
Hari Kedatangan Cheng Ho atau Kongco Sam Poo Tay Djien ke Kelenteng Agung Sam
Poo Kong. Tahun ini merupakan perayaan ke-608 (1405-2013) sejak Laksamana Cheng
Ho (Zheng He) dikisahkan mendarat dan singgah di kawasan Gedong Batu (Simongan),
Semarang”.
Sebagai penghormatan atas pendaratan di Semarang,
diadakanlah kirab yang diawali dari Kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Rute
kirab dipilih jalan protokol yang paling dekat, mulai Jalan Pemuda, depan
Balaikota Semarang, Jalan Mgr Soegijopranoto, lalu ke Jalan Pamularsih menuju
Kelenteng Sam Poo Kong di Simongan.
Warga keturunan Tionghoa mengikuti tradisi peringatan
kedatangan Kongco Sam Poo Tay Djien atau dikenal sebagai Cheng Ho di kawasan
pecinan Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (6/8/2013). Diperkirakan pada abad
XV Laksamana Cheng Ho dengan armada baharinya mengarungi samudra untuk
mengunjungi Asia dan Afrika.
Perayaan yang dilakukan oleh warga
Semarang tersebut menjadi bukti bahwa seorang laksamana yang berdarah China
tersebut benar-benar diterima bahkan dianggap sebagai seorang yang menjadi
tauladan karena disebut dalam tokoh bagi keturunan tionghoa dan islam. Dari
pemaparan yang ada berdasarkan ketokohan Ceng Ho di semarang ini dapat
dikatakan bahwa diterimanya Ceng Ho di semarang karena beberapa factor,
pendekatan budaya yang dilakukan bersama pasukannya berhasil menarik perhatian
dari masyarakat Semarang. Hal ini sesuai dengan budaya asli Nusantara yang
lebih pada masyarakat damai dan anti kekerasan.
(Oleh:Rombel6A 2013-Sejarah Unnes)
EmoticonEmoticon